404 Not Found


nginx/1.18.0 (Ubuntu)
Subak Plenan Gelar Sedekah Bumi ke Bedugul, Wujud Syukur Panen Melimpah. - SUARA KOMUNITAS
09/09/2022

Kayangan, ($K),— Petani yang tergabung dalam wilayah Subak Plenan Desa Kayangan Kecamatan Kayangan Kabupaten Lombok Utara menggelar Sedekah Bumi sebagai wujud syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa lantaran hasil panen yang melimpah, bertempat di Bedugul Subak Plenan, Senin (5/09/2022).

Ritual Sedekah Bumi di Bedugul Subak Plenan

Hadir dalam acara tersebut, Kepala Desa Kayangan yang diwakili Kasi Pemerintahan, PPL Desa Kayangan, Jintaka, Ketua dan Pengurus P3A Subak Plenan, Penghulu Dusun Empak Mayong, tokoh agama, tokoh masyarakat, DKR Kayangan, seluruh anggota Subak Plenan dan undangan lainnya.

Ketua P3A Subak Plenan, Rapidep dalam pengantarnya mengatakan, tradisi ke Bedugul dalam rangka sedekah bumi di Subak Plenan tersebut, tidak hanya sebagai ungkapan rasa syukur petani kepada Tuhan Yang Maha Kuasa saja, namun para petani juga memanjatkan doa agar penanaman padi selanjutnya diberikan keberkahan dan kembali sukses dalam hasil panennya kedepan.

“Alhamdulillah karena keberhasilan panen raya kali ini, kita sepakat untuk mengadakan Sedekah Bumi sebagai wujud rasa syukur kita kepada Allah SWT,” imbuhnya.

Para tamu undangan saat menghadiri ritual sedekah bumi di Bedugul Subak Plenan

Ia juga menyebutkan bahwa, Sedekah Bumi yang digelar di Bedugul tersebut pun rutin dilakukan petani Subak Plenan Desa Kayangan, ketika hasil panen mereka dikatakan berhasil.
“Walaupun ada yang gagal panen akibat kekeringan yang melanda, panen padi kali ini cukup memuaskan,” ucap Rapidep.

Jintaka Artahap, pada kesempat itu juga menyatakan, setelah panen kali ini, para petani akan melakukan pengelohan lahan lagi untuk ditanami padi kembali. “Dibulan Oktober dan November petani fokus dalam mengelola lahan pasca panen,” katanya.

Untuk diketahui, lanjut Artahap, luas lahan di Subak Plenan ini adalah 24 Ha dengan jumlah anggota Subak 34 orang. “Luas areal tidak berubah, yang berubah adalah jumlah anggota Subaknya, karena banyak orang tua menurunkan dan membagi lahan ke ahli warisnya,”terangnya.

Sebagai sumber kehidupan, keberadaan saluran air perlu dijaga kelestariannya. Hanya saja, masih sedikit kelompok masyarakat yang peduli terhadap keberlangsungan jalur areal pengairan tersebut. Di sebagian yang lain, kelompok masyarakat adat masih memberlakukan ritual untuk melindungi kelestarian sumber jalur pengairannya.

H.Djekat

Tokoh masyarakat yang juga mantan Wakil Ketua DPRD KLU, H.Djekat, terpisah menguatkan Selamet Bedugul merupakan ritual hajatan peninggalan nenek moyang. Ritual ini merupakan perwujudan dari rasa syukur warga atas rezki yang diterima. Namun, sebagian opini menganggap ritual masyarakat dipandang sebagai sesuatu yang syirik.
“Secara logika, ini bentuk wujud syukur masyarakat karena hajatnya terkabul. Tidak salah masyarakat menyembelih kerbau ataupun hewan kurban lainnya, karena tujuannya untuk menyiapkan penganan warga. Bentuknya pun sesuai kemampuan, tidak harus kerbau,” katanya.

Djekat menilai, sebagian kecil masyarakat masih belum bisa memaknai kearfian lokal yang terbangun dari ritual adat. Misalnya, cara berpakaian adat. Sapuk (ikat kepala) dimaknai sebagai simbol penghormatan. Cara mengikat ujung sapuk di bagian depan dan atas kepala melambangkan perwujudan nama Illahi dengan huruf Alif Lam Lam Ha (Allah).

“Sampai seperti itu agungnya cara nenek moyang kita memberi simbol sehingga cara mengikat sapuk pun tidak sembarangan,” sambungnya.

Andalan Kwartir Ranting Gerakan Pramuka Kayangan turut hadir

Mangku Gumi Sesait, Setam (A.Kamu) mengatakan, ritual yang berhubungan dengan aktivitas pertanian yang dilakukan oleh masyarakat petani di Subak Plenan merupakan bentuk ungkapan rasa syukur para petani kepada Sang Penguasa Alam yang telah memberikan kenikmatan berupa hasil bumi yang sangat dibutuhkan di dalam kehidupan manusia.

Upacara ritual yang sangat menonjol dirasakan oleh masyarakat petani padi adalah dimana padi dianggap merupakan jenis tanaman istimewa yang dihubungkan dengan Dewi Sri, sebagai dewi kesuburan. Masyarakat petani percaya bahwa Dewi Sri dalam wujud biji padi yang ditanam di tanah kemudian bertemu dengan Dewa Wisnu dalam wujud air. Pertemuan antara biji padi dan air kemudian menimbulkan kehidupan, bagaikan pertemuan antara semen dan air. Adanya kepercayaan inilah yang menyebabkan petani padi merasa berkewajiban untuk memperlakukan tanaman padi secara istimewa, dengan melakukan upacara-upacara ritual.

Para tamu undangan lainnya turut hadir di Bedugul Subak Plenan

Upacara ritual dimulai sejak dari menabur benih, pada waktu perawatan dan pada siklus-siklus sesudahnya, sampai saat tanaman tersebut dituai.

Dijelaskan, upacara menabur benih yang lumrah dilakukan masyarakat adat wet Sesait secara turun-temurun, biasanya dilakukan oleh lelaki yang disebut dengan “Anakhoda”. Hal yang dilakukan pun pertama-tama dengan menanam sembilan butir padi bulu; satu butir diletakkan di tengah dan delapan butir ditanam di delapan penjuru mata angin. “Tempat melakukan ritual ini, di wet adat Sesait disebut Pempon,”tandas Setam, seraya menambahkan bahwa ritual tersebut tidak berhenti disitu, melainkan ritual pun terus berlanjut pada waktu akan dimulainya tanam, dengan kelengkapan upacara berupa apa yang disebut Pebuan beserta kelengkapannya, termasuk di dalamnya kapur, sirih, tembakau, bedak kerames dan kemenyan.

Selanjutnya Setam juga menuturkan, upacara ritual juga diadakan pada waktu padi mulai bunting. Kelengkapan upacara berupa bubur putih atau telur yang diletakkan di tulakan atau Ancak. Di dekat kelengkapan upacara diletakkan daun lego-lego atau legundi yang dibakar dengan maksud untuk mengusir roh jahat atau penyakit. Seperti halnya pada upacara wanita hamil, upacara pada saat ini juga dilengkapi buah-buahan yang asam. Selanjutnya upacara ritual juga diadakan pada waktu akan dilakukan panen.

Terakhir, upacara ritual juga dilaksanakan pada waktu akan menyimpan padi di dalam lumbung padi (Sambi). Upacara yang berupa selamatan ini diwujudkan dalam bentuk kenduri yang dihadiri oleh warga dan do’a dipimpin oleh penghulu atau kiyai. Setelah itu padi dimasukkan di dalam lumbung, disertai berbagai ritual adatnya dan dipimpin oleh Anakkhoda.”Ritual inilah yang dilakukan oleh masyarakat adat wet Sesait secara turun temurun dan masih kita jumpai pada era tahun tujuh-puluhan hingga awal tahun delapan puluhan,”katanya.

Setelah itu, tutur Setam, ritual semacam ini sudah mulai ditinggalkan oleh masyarakat penganutnya, karena memang para leluhur banyak yang sudah mangkat dan padi bulu pun jarang ditanam oleh keturunan mereka. Sehingga awal sembilan puluhan, semua piranti ritual seperti padi bulu tidak lagi ada yang menanam dan lumbung pun lambat laun akan lapuk yang akhirnya rusak tidak meninggalkan bekas. Ini sangat disayangkan. “Semoga generasi berikutnya ada yang ingat dan peduli serta siap untuk melestarikannya,”tutup Setam.(eko).

Leave a Reply

Your email address will not be published.

 

kartal escort pendik escort sex hikaye