404 Not Found


nginx/1.18.0 (Ubuntu)
"SEJARAH DESA SESAIT SEBAGAI PUSAT PENYEBARAN ISLAM DAN PEMERINTAHAN PERTAMA" - SUARA KOMUNITAS
07/08/2021

Oleh : Eko Sekiadim*

Desa Sesait adalah desa tertua dari 9 Desa yang ada di wilayah Kecamatan Kayangan. Pasalnya, sebelum berdiri 8 desa lainnya, Desa Sesait sudah ada. Pemberian nama Sesait, tidak terlepas dari peran para wali yang memang sengaja datang dari Timur Tengah (Bagdad) dalam misi penyebaran Agama Islam di daerah itu.

Para Pejabat Pemusungan Sesait yang memerintah sejak berdirinya

Nama dan istilah Sesait berasal dari bahasa Arab, yaitu Sayyid, sebagai istilah untuk memberi gelar kepada para pemimpin agama atau orang yang memiliki pengetahuan luas dibidang agama Islam. Kata Sayyid, juga digunakan untuk menunjuk seseorang yang memiliki gelar keturunan atau sahabat Nabi Muhammad Saw yang menyebarkan agama Islam.

Berawal dari sebuah kampung kecil pada awal abad 14 M, terbentuklah tatanan kehidupan masyarakat yang memegang teguh adat istiadat dan budaya yang kental melegenda. Kearifan lokal yang terus dipertahankan tersebut, sebelum kedatangan para wali penyebar Islam ke gumi paer Sesait kala itu, masyarakat kampung tersebut sudah memiliki keyakinan mempercayai adanya Tuhan, yaitu menganut keyakinan yang disebut Islam Jelema Ireng (Wettu Telu), artinya ajaran Islam belum sepenuhnya diterima (dalam hal Syariat). Namun dalam hal Ketauhidan, masyarakat Sesait memiliki faham dan keyakinan yang sangat kuat. Setelah kedatangan para Wali Allah (para penyebar Islam) yang mengajarkan agama Islam kepada penduduk kampung tersebut, maka teranglah pelaksanaan agama Islam di tempat itu.

Konon menurut Piagam Sesait Kitab Muhtadi’, pada abad 14 M, Sesait dijadikan sebagai Pusat Penyebaran Islam dan Pusat Pemerintahan Pertama yang mencakup wilayah kekuasaan Sesait, karena berdasarkan atas keputusan para wali di Jawa, bahwa wali yang pertama mengijakkan kakinya di gumi Sesait kala itu ada dua orang yaitu Syech Sayyid Saleh Pedaleman Sangapati, asal Makkah Al-Mukarramah dan Syech Sayyid Rahmad.

Mereka berdua secara bersama-sama menyebarkan ajaran Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Namun kedua wali penyebar Islam ini setelah tugas mereka dianggap sudah berhasil, lalu mereka melanjutkan perjalanan ke daerah lain yaitu ke tanah Jawa Dwipa. Tetapi kedua wali ini tidak begitu saja meninggalkan daerah ini. Maka mereka sepakat siapa yang tetap tinggal dan yang akan melanjutkan perjalanan.
Sejarah mencatat, bahwa yang tetap tinggal di kampung tersebut adalah Syech Sayyid Saleh Pedaleman dan dikenal sebagai Mangku Gumi yang pertama di Kerajaan Sesait dengan gelar Diah Kanjeng Pangeran Sangapati atau lebih dikenal dengan nama Melsey Jaya. Kanjeng Syeh Sayyid Saleh Pedaleman Sangapati setelah ditinggal rekannya Kanjeng Said Rahmad, tugas misi suci itu terus dilakukannya hingga akhir hayatnya. Syeh Sayyid Saleh Pedaleman Sangapati inilah yang menurunkan Demung-Demung Sesait. Setelah mangkat tahun 1413 M., beliau dimakamkan di hutan Pedewa Sesait sekitar 200 m kearah utara kampung Sesait sekarang dan makamnya hingga saat ini, yang oleh masyarakat Sesait menyebutnya “Makam Kubur Beleq”.

Kanjeng Sayyid Rahmad setelah mengajarkan Agama Islam di Gumi Sesait, lalu beliau berlayar menuju tanah Jawa dwipa untuk melanjutkan syiar Islam. Konon katanya, berdasarkan bukti tertulis pada piagam Sesait yang hingga saat ini tersimpan di Kampu Sesait menerangkan, sepeninggal Kanjeng Said Rahmad dari bumi Sesait, maka kampung tempat beliau pertama kali menyebarkan Islam itu, beliau namakan dengan sebutan kampung Si Sayyid, (untuk mengenang jasanya) yang berabad-abad kemudian berdasarkan pergeseran waktu lambat laun nama kampung itu berubah dari Si Sayyid menjadi Sesait.

Inilah awal mula kampung tersebut diberikan nama Kampung Sesait hingga sekarang. Sesuai dengan nama beliau sendiri Sayyid Rahmat yang artinya dalam bahasa arab keselamatan. Adapun peninggalan – peninggalan serta ajaran – ajaran Sayyid Rahmat yang masih ada yang kini tersimpan di Kampu Sesait (Singgasana Datu Sesait) seperti, Kitab Suci Al Qur’an Cetakan Turki Pertama tahun 1433 M, Kitab Shalawatan yang di tulis tangan oleh beliau sendiri, yang umurnya sudah mencapai kurang lebih 580 tahun, serta Tongkat Khotbah yang terbuat dari Hati Pisang. Selain peninggalan Sayid Rahmat yang berbentuk benda tersebut, Sayid Rahmat juga meninggalkan ajaran yang terkenal yaitu Fiqh Ushul dan Tasawuf, dimana metode yang di gunakan dalam menyampaikan ajarannya, tidak pernah bertentangan dengan adat – istiadat atau budaya lokal yang berlaku di kampung tempatnya berdakwah kala itu yang sekarang bernama Sesait.

Itulah sebabnya di kalangan para sesepuh adat dan para santri yang hidup kala itu hingga menurunkan generasi berikutnya masih kuat memegang teguh adat dan pemahaman tasawufnya di kalangan penduduk Sesait. Hingga sekarang pemahaman jalan tasawuf ini dikalangan sesepuh atau para pelingsir tokoh adat maupun tokoh agama di bumi Sesait masih kita jumpai.

Sepeninggal Kanjeng Said Rahmad berlayar ke gumi jawa Dwipa kala itu, lalu beliau menempatkan kampung Si Sayyid (Sesait) sebagai pusat penyebaran agama Islam dan sekaligus di jadikan sebagai pusat Pemerintahan Kerajaan Sesait. Adapun wilayah Kerajaan Sesait yang di jadikan sebagai pusat Pemerintahan kala itu menjadi satu wilayah. Namun sekarang sudah berubah menjadi beberapa buah desa yang berdiri sendiri, yaitu Desa Pendua, Dusun Santong Asli Desa Santong, Desa Kayangan, Desa Santong Mulia dan Desa Sesait sendiri. Walau wet Sesait ini sudah masuk menjadi bagian desa lain dan di pisahkan secara administrasi, namun wet adatnya masih tetap satu yaitu wet adat gumi paer Sesait.

Kampu Sesait yang oleh Sayid Rahmat dijadikan sebagai keratonnya dan dalam struktur Pemerintahan di bentuklah lembaga pemerintahan yang di sebut Tau Lokaq Empat, yaitu Mangku Gumi sekaligus sebagai Raja, Pemusungan sebagai Kepala Pemerintahan, Jintaka sebagai Pengatur pola tanam di bidang perekonomian dan Penghulu membidangi di bidang Agama yang mencakup wilayah kekuasaan Kerajaan Sesait.

Selanjutnya dalam Kitab Muhtadi’ yang menjadi sumber tertulis Sejarah Sesait menyebutkan, Pengangkatan Raja Pertama Sesait kala itu dijalankan berdasarkan atas keputusan keluarga Kerajaan dan bukan memakai sistem Demokrasi seperti yang berlaku di Negara yang menganut paham demokrasi. Hal tersebut dilakukan karena ini masalah urusan Trah Kerajaan dan itu juga di setujui oleh para Wali penyebar agama Islam (Sayid Rahmat ) ketika itu, sekitar pertengahan abad 14 M silam. Pengangkatan Raja pertama Sesait dengan gelar Pangeran Mangku Gumi (Satu) yang dijabat oleh Syech Sayyid Saleh Pedaleman Sangapati sesuai dengan silsilah keturunan yang sudah tertulis di dalam Piagam Sesait, dan inilah yang menjadi pedoman keluarga Kerajaan dalam hal pengangkatan Raja, dari pertama terbentuk sampai saat ini dan itu tidak bisa di interfensi oleh siapapun, karena itu mutlak keputusan Trah keluarga Kerajaan (sesuai Purusa) yang sudah baku sejak pertamanya terbentuk.

Setelah terbentuknya Mangku Gumi, barulah Mangku Gumi mengangkat Pemusungan sebagai Kepala Pemerintahan pada waktu itu, kemudian Penghulu dan Jintaka. Untuk membantu dalam menjalankan pemerintahannya, Pangeran Mangku Gumi (Syech Sayyid Saleh Pedaleman Sangapati), juga mengangkat Seorang Senopati Perang yaitu Senopati Anggura Paksa dan empat orang Patih sekaligus, yaitu Daman, Jumanah, Rapiqah dan Raqiah. Konon ke-empat orang patih ini adalah bersaudara dan khusus di datangkan dari Negeri Iraq Bagdad.

Di ceritakan, ketika Said Rahmat meninggalkan kampung Sesait untuk berlayar melanjutkan perjalanannya ke Jawa Dwipa, maka peran patihnya yang empat inilah yang membantu dalam memperluas wilayah syiar Islam kala itu. Sebelum Said Rahmat sampai ke Jawadwipa, beliau sempat singgah di Serean Karang Asem dan Klungkung Bali, setelah itu baru kemudiam beliau melanjutkan perjalanan ke tanah Jawadwipa.

Sesuai dengan wasiat beliau, kisah perjalanan Said Rahmat dari Sesait ke Pulau Jawa tepatnya di Ampel Denta Surabaya, di tulis oleh Lebe Seriaji (santri beliau sendiri), hingga saat ini tulisan beliau masih tersimpan dengan baik di Kampu Sesait.

Kurun waktu dua abad lebih lamanya, Sesait mengalami masa kejayaannya. Pada masa Pemeintahan Layur tahun 1725-1755 M. Pada zaman itu terjadi peristiwa yang hingga saat ini masih melegenda pada rakyat Sesait, yaitu cerita tentang munculnya seorang bayi yang dikemudian hari menjadi ulama besar yang bergelar Pangeran Sayyid Anom. Di bawah asuhan ulama besar inilah sehingga Islam pada zaman itu berjaya di gumi paer Sesait. Tidak heran banyak santri yang menimba ilmu di daerah ini, yang rata-rata mengambil aliran jalan tassawuf.

Dalam perjalanan sejarah beberapa abad kemudian, Sesait yang dulunya sebuah kampung lambat laun berubah menjadi sebuah desa. Menurut Djekat salah seorang sesepuh yang dituakan di gumi paer Sesait mengatakan, Desa Sesait sudah ada sejak tahun 1895 dengan Pemusungan (Kades) yang pertama bernama Murdip (asal Lekok) dengan pusat pemerintahannya di Amor-Amor.

Kemudian pada masa Mardawati tahun 1928, Desa Sesait dipindahkan ke Lokok Rangan. Dengan pindahnya Desa Sesait tersebut ke Lokok Rangan maka berdirilah Desa Selengen tahun 1929 dengan Kepala Desa Pertamanya Redip. Ketika pusat pemerintahannya di Lokok Rangan, Desa Sesait telah diperintah oleh 3 orang pemusungan, yaitu Amaq Aliah (1928-1945), Amaq Muliamah (1945-1958) dan Jumais tahun 1958 hingga tahun 1966 saat desa tersebut di pindahkan ke Santong. Dengan pindahnya Desa Sesait ke Santong, maka berdirilah Desa Kayangan dengan Kepala Desa pertamanya Israil Ismail DM tanggal 26 Agustus 1966.

Sejak Desa Sesait di pindahkan ke Santong tanggal 26 Agustus 1966 hingga tahun 2006, Pemusungan Sesait yang memerintah secara berurutan antara lain, Amaq Saharim (1966-1967), Amaq Raidin (1967), Medip (1968-1970), Dahlan (1970-1974), Seta Antadirja (1974-1979), Djekat (1979-1987), Satriadi (1987-1988), Djekat (1988-2006) dan pada tahun 1997, Desa Sesait kembali di pindahkan ke Sumur Pande dengan Pemusungan masih di jabat Djekat.

Dengan pindahnya kembali Desa Sesait ke Sumur Pande pada tahun 1997 tersebut, maka berdirilah Desa Santong dengan Kepala Desa pertamanya Artim Yahya (1997). Setelah lengser pada tahun 2006, Djekat diganti oleh Sidep (2006-2007), Murdan (2007-2012, Airman,S.Pd (2013-2018, R.Sawinggih (2018-2020) dan Susianto,M.Pd (2020-sekarang).

Sejak berdirinya hingga saat ini, Desa Sesait tidak terlepas dari perjalanan panjang sejarahnya. Desa dengan motto Merenten (bersaudara) yang dijadikan maskot semangat seluruh masyarakatnya dalam bekerja yang sebagian besar hidup dari hasil pertanian ini, telah mampu menunjukkan hasil yang patut di banggakan. Seperti dalam bidang pertanian, perkebunan dan peternakan. Ketiga sektor inilah yang dijadikan prioritas unggulan yang dihasilkan desa ini.

Pemusungan Sesait sejak di jabat oleh Djekat semangat Merenten itu terus di galakkan dan di budayakan hingga pemerintahan Airman yang sekarang. Semangat Merenten inilah yang dianut tatkala akan memulai suatu pekerjaan. Lebih-lebih di setiap akan memulai suatu program yang direncanakan. Acapkali semangat inilah yang selalu di kedepankan dalam setiap pengambil kebijakan. Termasuk menggerakkan partisipasi masyarakat dalam setiap menjalankan program pembangunan, baik dalam bidang pemerintahan, pembangunan maupun dalam bidang kemasyarakatan.

Sejalan dengan berjalannya waktu, Desa Sesait yang memiliki luas 17.100 Ha dengan jumlah penduduk 10.127 jiwa, 2.792 KK serta kepadatan penduduknya 0,592 /km tersebut pun pada awal tahun 2015, berdasarkan Peraturan Bupati Kabupaten Lombok Utara Nomor 15 tahun 2015 tanggal 11 Mei 2015, kemudian melahirkan Desa Santong Mulia dengan Penjabat Kepala Desa pertamanya Eko Sekiadim,S.Sos ( SK.Bupati No.268/28/Pem/2015 tgl.11 Juni 2015) asal Lokok Sutrang dan Desa Sesait sendiri sebagai Desa Induk. (eko).

Leave a Reply

Your email address will not be published.

 

kartal escort pendik escort sex hikaye