404 Not Found


nginx/1.18.0 (Ubuntu)
Potret Pasar Tradisional Kembang Tanjong - SUARA KOMUNITAS
02/12/2017

Pasar Kecamatan Kembang Tanjong—Kabupaten Pidie, Aceh—adalah bagian dari wilayah Gampong Tanjong, desaku, tempatku bertumbuh. Rumah kudilahirkan hanya berjarak beberapa langkah dari area pasar.

Hampir semua pemilik toko dan pedagang kaki lima kukenal. Masa itu, dasawarsa 70-an, tidak banyak anak-anak yang berbadan gemuk. Di antara anak-anak desa pasar, hanya aku yang berbadan tambun. Jadi, aku menggemaskan bagi pedagang-pedagang itu.
Para pedagang, baik di toko atau kaki lima, umumnya berasal dari desa-desa di seputar pasar kecamatan. Saking akrabnya aku dengan mereka, kadang sampai ke isi laci uang dagangan mereka aku tahu.

Kalau pedagang kaki lima memang tak memakai laci meja untuk menaruh uang dagangan, mereka memakai kantung dari kain yang ada tali penjeratnya di mulut kantung. Nah, ini pun aku tahu tebal dan tipisnya isi kantung uang mereka.
Puncak keramaian pasar kami adalah sore hari. Di pagi hari, hanya warung-warung kopi yang ramai, sedangkan toko-toko penjual pakaian, pecah-belah dan sembako, diserbu pembeli pada sore hari.

Begitu juga para pedagang kaki lima yang umumnya adalah penjual buah, sayur, tembakau sugi, bunga susuk untuk ritual dan barang-barang lainnya, mereka baru berdatangan sambil membawa barang pada tengah hari.

Karena puncak keramaiannya sore hari, di siang hari isi toko-toko masih penuh, sedangkan isi laci-laci mereka masih sedikit. Begitu juga dengan pedagang kaki lima; pada siangnya mereka membawa barang-barang ke pasar, baik dengan sepeda atau diusung di atas kepala (ini biasanya pedagang perempuan, nyak-nyak), dan saat itu, saat barang-barang masih menumpuk di tikar atau terpal plastik gelaran barang, kantung-kantung atau ‘baluem’ uang mereka masih tipis-tipis.

Sigli-SK-Pada sore hari, pasar diserbu pembeli yang datang dari segenap penjuru kampung dalam kecamatan, juga ditambah warga dari kecamatan lain yang kampung mereka lebih dekat dengan pasar kami dibandingkan pusat pasar kecamatan mereka sendiri.
Nah, di saat-saat seperti ini—minimal aku memperhatikannya begitu—barang-barang yang tadi ada di dalam toko-toko, diangkut oleh para pembeli, dibawa pulang ke rumah-rumah mereka. Begitu juga barang-barang yang tadi diangkut oleh para pedagang kaki lima ke pasar, kini para pembeli mengangkutnya beramai-ramai membawa pulang ke rumah-rumah mereka.

Jadi, ketika barang-barang di dalam toko berkurang, uang di laci toko-toko itu bertambah. Ketika barang-barang di gelaran sepanjang kaki lima kosong, kantung-kantung para pedagang yang tadi tipis-tipis, kini tebal-tebal.

Begitu juga bagi para pembeli yang ketika tadi tiba di pasar tanpa menenteng apa-apa, itu pasti dompetnya masih tebal-tebal; dan ketika pulang dengan tentengan berbagai barang, itu pasti isi dompet mereka sudah tipis-tipis; minimal, tidak lagi setebal waktu datang.

Bertumbuh di lingkungan pasar tradisional akhirnya membuatku menjadi terbiasa dengan cara pandang seperti itu; bahwa, bagi yang masih memiliki banyak barang, ia pasti tidak memiliki banyak uang. Bagi calon pembeli yang tadi hadir di pasar tanpa menenteng apa-apa di tangan, itu pasti dompet mereka sedang tebal-tebalnya.

Cara pandang seperti itu rupanya tetap mengikutiku sampai dewasa. Hingga, suatu hari, seorang teman dari luar negeri, bertanya, dan aku menjawab dengan spontan, serius, tapi kusadari, itu sangat konyol.

“Kenapa Indonesia masih miskin hingga hari ini?” tanya dia. Aku menjawab, “Itu karena kami masih memiliki banyak sumber daya alam.”(mus)

Leave a Reply

Your email address will not be published.

 

02/12/2017

Sigli-SK-Pasar Kecamatan Kembang Tanjong—Kabupaten Pidie, Aceh—adalah bagian dari wilayah Gampong Tanjong, desaku, tempatku bertumbuh. Rumah kudilahirkan hanya berjarak beberapa langkah dari area pasar.

Hampir semua pemilik toko dan pedagang kaki lima kukenal. Masa itu, dasawarsa 70-an, tidak banyak anak-anak yang berbadan gemuk. Di antara anak-anak desa pasar, hanya aku yang berbadan tambun. Jadi, aku menggemaskan bagi pedagang-pedagang itu.
Para pedagang, baik di toko atau kaki lima, umumnya berasal dari desa-desa di seputar pasar kecamatan. Saking akrabnya aku dengan mereka, kadang sampai ke isi laci uang dagangan mereka aku tahu.

Kalau pedagang kaki lima memang tak memakai laci meja untuk menaruh uang dagangan, mereka memakai kantung dari kain yang ada tali penjeratnya di mulut kantung. Nah, ini pun aku tahu tebal dan tipisnya isi kantung uang mereka. (mus)

Puncak keramaian pasar kami adalah sore hari. Di pagi hari, hanya warung-warung kopi yang ramai, sedangkan toko-toko penjual pakaian, pecah-belah dan sembako, diserbu pembeli pada sore hari.

Begitu juga para pedagang kaki lima yang umumnya adalah penjual buah, sayur, tembakau sugi, bunga susuk untuk ritual dan barang-barang lainnya, mereka baru berdatangan sambil membawa barang pada tengah hari.

 

Karena puncak keramaiannya sore hari, di siang hari isi toko-toko masih penuh, sedangkan isi laci-laci mereka masih sedikit. Begitu juga dengan pedagang kaki lima; pada siangnya mereka membawa barang-barang ke pasar, baik dengan sepeda atau diusung di atas kepala (ini biasanya pedagang perempuan, nyak-nyak), dan saat itu, saat barang-barang masih menumpuk di tikar atau terpal plastik gelaran barang, kantung-kantung atau ‘baluem’ uang mereka masih tipis-tipis.

Pada sore hari, pasar diserbu pembeli yang datang dari segenap penjuru kampung dalam kecamatan, juga ditambah warga dari kecamatan lain yang kampung mereka lebih dekat dengan pasar kami dibandingkan pusat pasar kecamatan mereka sendiri.

Nah, di saat-saat seperti ini—minimal aku memperhatikannya begitu—barang-barang yang tadi ada di dalam toko-toko, diangkut oleh para pembeli, dibawa pulang ke rumah-rumah mereka. Begitu juga barang-barang yang tadi diangkut oleh para pedagang kaki lima ke pasar, kini para pembeli mengangkutnya beramai-ramai membawa pulang ke rumah-rumah mereka.
Jadi, ketika barang-barang di dalam toko berkurang, uang di laci toko-toko itu bertambah. Ketika barang-barang di gelaran sepanjang kaki lima kosong, kantung-kantung para pedagang yang tadi tipis-tipis, kini tebal-tebal.

Begitu juga bagi para pembeli yang ketika tadi tiba di pasar tanpa menenteng apa-apa, itu pasti dompetnya masih tebal-tebal; dan ketika pulang dengan tentengan berbagai barang, itu pasti isi dompet mereka sudah tipis-tipis; minimal, tidak lagi setebal waktu datang.

Bertumbuh di lingkungan pasar tradisional akhirnya membuatku menjadi terbiasa dengan cara pandang seperti itu; bahwa, bagi yang masih memiliki banyak barang, ia pasti tidak memiliki banyak uang. Bagi calon pembeli yang tadi hadir di pasar tanpa menenteng apa-apa di tangan, itu pasti dompet mereka sedang tebal-tebalnya.

Cara pandang seperti itu rupanya tetap mengikutiku sampai dewasa. Hingga, suatu hari, seorang teman dari luar negeri, bertanya, dan aku menjawab dengan spontan, serius, tapi kusadari, itu sangat konyol.
“Kenapa Indonesia masih miskin hingga hari ini?” tanya dia.
Aku menjawab, “Itu karena kami masih memiliki banyak sumber daya alam.”

Leave a Reply

Your email address will not be published.

 

kartal escort pendik escort sex hikaye