404 Not Found


nginx/1.18.0 (Ubuntu)
Mengenal Situs Pendua - SUARA KOMUNITAS
13/04/2021

Santong Mulia (SanMu),— Gontoran Gumi Paer Sesait merupakan sebuah tempat bagi orang-orang Sesait menggantungkan harapan dan kehidupannya. Di tanah tersebut, orang-orang Sesait melakukan serangkaian proses kehidupan dari generasi ke generasi dan melahirkan bagian-bagian penting yang harus diketahui oleh generasi mudanya. Kesuburan tanahnya mampu menopang kehidupan orang-orang Sesait, karena sumber air yang mengalir dari gunung Rinjani secara terus-menerus, sehingga menjadi berkah tersendiri bagi orang-orang Sesait. Dari beberapa catatan dan informasi, asal-usul tau Sesait yang mendiami Gontoran Gumi Paer Sesait adalah ras Mongoloid di AsiaTenggara.

Ilustrasi, Situs Pendua “Bangunan Pemujaan Agama Hindu”.

Penemuan situs sejarah yang paling penting untuk mengetahui kehidupan sejarah di Gumi Paer Sesait adalah penemuan dan penelitian benda-benda arkeologis di Pendua oleh Balai Arkeologi  Denpasar tahun 1974 dan mulai dilakukan ekskavasi (penggalian) pada tahun 1983. Tanah sebagai lokasi ditemukannya Situs Pendua ini adalah tanah milik Amaq Redep.

Disebutkan bahwa, sebenarnya situs Pendua ini sudah mulai ditemukan oleh penduduk setempat yakni sehubungan dengan pembukaan hutan untuk di jadikan areal persawahan bagi penduduk sekitar Pendua tahun 1971. Sebelum adanya pembukaan lahan tersebut, Situs Pendua ini belum di kenal sama sekali. Ungkapan sejarah ini mencakup latar belakang kehidupan masyarakat jaman purba kurun waktu dari abad ke 15 – 16 M. Situs Pendua ini di duga merupakan bekas peninggalan pemujaan Hindu dari masa abad ke 15 M.

Menurut A.Munahib (alm) yang mendiami gontoran situs Pendua tersebut mengatakan, pada waktu hutan mulai di buka sekitar tahun 1971, diketemukan Lingga dan fragmen Yoni yang terdiri dari bagian belakang dan cerat serta banyak batu-batu bersusun yang belum jelas gunanya. Selain itu, diketemukan juga Kuburan dan 2 (dua) buah sumur yang terletak di bagian selatan situs. Kuburan itu sampai sekarang masih digunakan oleh masyarakat Santong (dulu oleh masyarakat Pendua an Sesait). Sedangkan sumur itu, dahulu dipergunakan dalam upacara ngurisan.

Di arah barat laut situs ditemukan kuburan dan  sumur. Kuburan tersebut  yang oleh masyarakat  setempat  disebut ‘Kuburan Setinggi’  atau ‘Kuburan Alam Daur’, dimana menurut mereka, kata Alam  berarti  ‘tempat’ dan Daur berarti ‘keringat’. Sedangkan sumur itu menurut masyarakat setempat dinamakan ‘Sumur Lokok Bata’. Hingga saat ini nama tersebut diabadikan menjadi nama dusun diwilayah tersebut dan merupakan bagian dari wilayah hukum Desa Pendua.

A.Munahib juga sempat menceritakan bahwa sisa fragmen Yoni seperti yang tersimpan di rumahnya, sisanya masih disekitar situs. Di bagian timur rumahnya ditemukan beberapa buah batu berlubang, mungkin batu lumpang. Kemudian di bagian utara situs Pendua yaitu disebuah parit pada waktu dirinya mencari air, pernah ditemukan genta,kaling,guci,pedupaan dan potongan selunding (sekarang tersimpan di Museum NTB).

Di bagian timur situs sekitar 200 meter, pernah juga ditemukan batu bergambar yang sekarang sudah ditanam. Bentuknya mungkin semacam daun Padma yang belum jelas di ketahui pada saat membuat saluran air untuk kepentingan sawah.

Menurut Drs Purusa Mahaviranata, Kepala Balai Arkeologi Denpasar yang memimpin penelitian di situs Pendua mengatakan bahwa, sebelum melakukan penggalian di lokasi situs Pendua pada tahun 1983, pihaknya melakukan survey disekitar medan ekskavasi (penggalian) dan survey di 3 (tiga) buah desa tetangga situs Pendua.

  1. Desa Sesait.

Di rumah Bapuk Pa’at dalam Kampu Sesait di simpan Kontara (lontar) sebanyak 2 (dua) lembar. Lembar pertama terdiri dari 4 (empat) baris (sisi A dan sisi B) dan lembar kedua sisi B terdiri dari satu baris. Bentuk lontar ini masih menunjukkan keutuhan, artinya kedua lembar daunnya belum dilepaskan (masih ada lidinya), dengan ukuran :

  • Panjang 61,3 cm
  • Lebar 3,6 cm
  • Ukuran tinggi huruf 2 mm
  • Usianya relatif muda (abad 15 M)
  • Asalnya dari Negara Bayan
  • Di buat oleh Raden Ukir Sari
  • Di peruntukkan untuk Demung Sesait, Pejanggik dan Sokong.
  • Isi Kontara Sesait tersebut adalah tentang tata cara atau tata tertib adat setempat, diantaranya aturan bersuami istri,hubungan orangtua dengan anak,keadaan pertanian, petunjuk tentang adanya pergantian pemimpin dan lain-lain.
  1. Desa Rempek.

Di rumah A.Suryani (Rebin) di temukan benda-benda persolin berbentuk guci, dimana 2 (dua) buah masih utuh dan yang lainnya merupakan pecah-pecahan.Benda-benda tersebut ditemukan secara tidak sengaja pada waktu akan membuat sawah dan terpacul pada kedalaman 50 cm  pada tahun 1982.

Di dalam salah satu guci yang masih utuh itu terdapat lubang yang kelihatannya tidak rapi. Di dalam guci itu pula ditemukan batu kecil yang bentuk dan fungsinya belum jelas dan satu buah kereweng hias. Guci ini ditemukan di sebuah lembah dekat sungai bernama Lokok Tengah.

  1. Dusun Gangga Desa Genggelang.

Di tengah kebun milik A.Sugati, tepatnya di sekitar tanaman pohon pisang ditemukan pecahan-pecahan porselin (keramik), kereweng, sebuah lingga dan sebuah batu yang bentuk dan fungsinya belum jelas (sekarang tersimpan di Museum NTB).

Di bagian timur pohon pisang sekitar 150 meter ditemukan sebuah batu besar, bentuknya halus, panjang yang kelihatan diatas permukaan tanah 1,11 meter dan bagian bawahnya hanya terlihat 23 cm sedangkan bagian yang lain masih tertanam. Situs batu ini terletak di sebelah selatan Mesjid Gangga bagian timur Gunung Murmas.

Dari hasil survey yang dilakukan pihak Balai Arkeologis Denpasar tersebut, di dapat kesimpulan bahwa :

  1. adanya pondasi bata seluas 9 x 9 meter, sebuah lingga dan sebuah Yoni dan beberapa batu lumpang, guci dan buli-buli dari porselin (bekas tasbihnya  para pendeta) serta sebuah genta dan pedupaan perunggu, sepotong selunding (gamelan), maka tim dapat memastikan bahwa ditempat tersebut dulunya ada pemujaan agama Hindu.
  2. Adanya guci Martavan dan buli-buli serta sejumlah fragmen keramik asing serta fragmen halus berwarna merah seperti yang ditemukan di Trowulan (bekas ibukota Kerajaan Majapahit dari abad 13/1369 M), semuanya berasal dari satu tempat di Desa Rempek Kecamatan Gangga, menunjukkan adanya kegiatan masyarakat atau semacam penghunian dalam jumlah kecil, tidak jauh dari situs Pendua.
  3. Adanya sebuah lingga, fragmen gerabah kasar dan halus berwarna merah serta frgamen keramik asing, diantaranya berjenis Celadon dari jaman Dinasti Sung (abad 14-15 M), ini juga menunjukkan adanya pemujaan agama Hindu dan pemukiman penduduk di tempat yang tidak terlalu jauh dari situs Pendua.

Dari hasil penggalian Situs Pendua oleh Tim dari Balai Arkeologi Denpasar tersebut telah menunjukkan hasil bahwa Situs Pendua ini merupakan “Bangunan Pemujaan Agama Hindu”.

Namun perlu di catat bahwa, bangunan ini telah tertimbun oleh tanah dengan kedalaman antara 150 – 250 cm. Bangunan ini juga tidak ada menunjukkan tanda-tanda terdesak atau tergeser susunan pondasinya. Sehingga bencana alam yang menimpa bangunan suci ini bukanlah lahar panas atau lahar dingin yang dating secara tiba-tiba dalam jumlah besar. Tertimbunnya bangunan suci ini karena erosi pada waktu banjir yang berlangsung beberapa kali dan terjadi secara lambat dengan membawa bahan-bahan muntahan gunung Rinjani yang telah dingin. Perlu diingat bahwa situs bangunan ini terletak di punggung dari bentangan medan yang berlekuk-lekuk serta diapit oleh lembah dan sebuah sungai yang sangat terjal sehingga sebagian besar bahan yang di hanyutkan banjir itu melalui lembah dan sungai tersebut.

Letak pondasi bangunan suci di Situs Pendua ini, tidak berorientasi barat-timur menurut pengertian umum, akan tetapi mengarah antara Gunung Rinjani dan laut. Orientasi ini, berarti antara Tenggara dan Barat Laut. Jika pengertian orientasi ini benar, maka biasanya ada jalan masuk di tengah bangunan dengan tangga tidak tinggi dan pemujaan dilakukan di luar bangunan atau di dalam bangunan.

Menurut Drs Purusa Mahaviranata bahwa, umur bangunan suci di Situs Pendua ini tidak bisa di pastikannya, karena tidak ditemukan data yang tepat. Bentuk dan ukuran batanya adalah tipe Majapahit. Pengaruh Majapahit di Lombok di mulai sejak pertengahan abad ke 14 M, ketika Mahapatih Gajah Mada berkuasa.

Dikatakannya, pemukiman pendukung agama Hindu di daerah Lombok mestinya menjadi lebih mantap setelah pemeluk agama Hindu di Jawa terdesak oleh kedatangan agama Islam awal abad ke 16 M. Dari data sejarah ini dapat di duga bahwa pembangunan pondasi bata pada Bangunan Suci Situs Pendua ini, bukan terjadi bersamaan dengan pengaruh Majapahit secara politis, akan tetapi sejaman dengan pemukiman pendukung agama Hindu yang bertepatan dengan kemunduran agama Hindu di Jawa, karena adanya Islamisasi. Jadi bangunan Hindu di Situs Pendua ini diperkirakan dari akhir abad ke 15 atau awal abad ke 16 M.

Namun Situs Pendua ini merupakan situs yang sangat memerlukan penelitian lanjutan karena banyak fragmen yang ditemukan menunjukkan adanya bangunan masa klasik.

Tagged on:

Leave a Reply

Your email address will not be published.

 

kartal escort pendik escort sex hikaye