404 Not Found


nginx/1.18.0 (Ubuntu)
Memantik keberanian warga untuk bersuara lewat Media Komunitas - SUARA KOMUNITAS
23/10/2018

Pekalongan Kota, Suara Komunitas. – Menyuarakan suara akar rumput, atau suara warga sudah menjadi komitmen sejak awal Warta Desa. Komitmen tersebut terkadang menemui beberapa kendala karena masih banyaknya warga yang hilang keberaniannya untuk bercerita, ketika bertemu dengan wartawan. Demikian disampaikan oleh Eva Abdullah Ajis, jurnalis Warga yang menyebut sebagai gerilyawan media, dalam diskusi bertajuk Ngobrol karo Ngopi, Komunitas Cerito Wong Pekalongan di Alesscow Coffe, Simbangkulon, Buaran, Pekalongan, Sabtu (20/10).

Menurut Eva Abdullah, ada perbedaan mendasar antara jurnalis warga (gerilyawan media) dengan wartawan. “Gerilyawan media itu bergerilya, prihatin, bekerja karena panggilan hati. Tidak dibayar. Berbeda dengan wartawan yang mengikuti perusahaan dan digaji. Gerilyawan lebih merdeka, karena tidak terkait dengan kelompok kepentingan,” ujarnya.

Terkait maraknya bodrek (sebutan oknum wartawan yang meminta uang saat melakukan liputan) Eva mengungkapkan bahwa hal tersebut kembali pada hati nurani dan panggilan hati. “Semua bergantuk pada hati nurani dan panggilan hati … sebagai gerilyawan media, kami bermula dari aktifis radio komunitas. Di radio komunitas … listrik bayar sendiri, beli kaset ya beli sendiri … karena tidak ada iklan. Kalau ada iklan paling pengumuman pengajian, atau pengumuman hajatan warga sekitar,” lanjutnya.

Kiprahnya berlanjut setelah bertemu dengan beberapa penggiat radio komunitas lainnya di Kabupaten Pekalongan, kemudian membuat koran mingguan cetak, Media Komunitas. “Pernah punya media cetak, sekali cetak Rp. 3,5 juta, karena sekali cetak harus 1000 eksemplar. Namun karena  idealisme … tdak pasang iklan …. akhirnya ambruk juga,” tutur pria yang sering memakai “topi copet” tersebut.

Tidak kapok dengan hobinya menyuarakan suara akar rumput yang pernah ambruk, Eva bersama penggiat radio komunitas kemudian membangun portal warga bernama Warta Desa Net, “Kemudian bikin warta desa net, pertama berjalan … banyak yang bilang, paling hanya bisa bertahan tiga bulan … Alhamdullillah, hingga saat ini sudah berusia tiga tahun,” lanjutnya.

Soal rejeki dari mana dia mendapatkan, mengingat aktivitasnya tidak dibayar, Eva mengungkapkan, “Soal rejeki … Alhamdulillah ada saja …. sempat dipercaya oleh warga untuk mengawal kasus di Cilacap …. karena orang kampung, tidak terbiasa dengan ac .. akhirnya sakit juga.  Disinilah kebahagiaan tersendiri, bisa mendampingi warga dan menemukan solusi bersama,” ujarnya.

Menurut Eva, resiko menjadi jurnalis warga seperti penggiat komunitas lainnya, “resiko wartawan … kadang menyenangkan, kadang buntung … bonyok …. resiko meninggal dunia karena menjalankan tugas …. ada juga … semua bermuara dari hati nurani.” Tuturnya. Semua berangkat dari panggilan hati untuk menyuarakan warga, lanjutnya.

Sementara itu, Didiek Harahap, Pemimpin Umum Warta Desa mengungkapkan bahwa aktivitas para penggiat media komunitas bermuara pada kebijakan pemerintah. “Muaranya pada kebijakan pemerintah, Warta Desa konsen pada menyuarakan akar rumput agar didengar oleh pemerintah dengan cara kita, rombongan wong edan –orang bilang … kita tidak memikirkan masalah materi tetapi kepuasan batin, bisa menyuarakan akar rumput,” ujarnya.

Menurut Didiek, dengan menyatukan visi dan misi masing-masing komunitas, nantinya harapan dari penggiat komunitas akan tersampaikan.  “Kami tetap berkomitmen untuk menyuarakan warga yang acapkali tidak diliput oleh media mainstream (arus utama), prinsipnya menyuarakan warga agar didengar dan ada solusi bersama. Kalau tolok ukurnya materi, pada beberapa kasus …  kami akan bersedia menurunkan berita dengan embel-embel materi, tetapi kami tidak,” pungkasnya. (Warta Desa)

Tagged on:

Leave a Reply

Your email address will not be published.

 

kartal escort pendik escort sex hikaye